Sahal Mahfudz
Lahir
|
|
Kewarganegaraan
|
|
Pekerjaan
|
|
Agama
|
|
Pasangan
|
Dra Hj Nafisah Sahal
|
Anak
|
Abdul Ghofar Rozin
|
Kiai Haji
Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz (lahir di Kajen, Kabupaten
Pati, Jawa
Tengah, 17
Desember 1937; umur 73
tahun) adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak
tahun 2000 hingga saat ini. Sebelumnya selama dua periode menjabat sebagai Rais
Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama sejak 1999
hingga saat ini.
Biografi
Beliau
sebelumnya selama 10 tahun memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa
Tengah, juga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI pada Juni 2000
sampai tahun 2005. Di luar itu, Kiai Sahal adalah pemimpin Pesantren Maslakul Huda (PMH) sejak
tahun 1963. Pesantren di Kajen Margoyoso (Pati, Jawa Tengah), ini didirikan
ayahnya, KH Mahfudh Salam, pada 1910. Selain itu beliau adalah rektor Insitut
Islam Nahdlatul Ulama (INISNU), Jepara, Jawa
Tengah sejak tahun
1989 hingga sekarang. Kiai Sahal biasa menulis namanya secara resmi sebagai
HMA. Sahal Mahfudh (menggunakan dh [bukan dz] untuk nama belakang). Tiga huruf
paling depan merupakan kependekan dari Haji Muhammad Ahmad.
Dr. KH.A. SAHAL MAHFUDZ
Menjadikan Fikih Sebagai
Pemikiran Sosial yang Dinamis.
Kiai
Sahal merupakan tipe seorang ulama yang sejak awal kehidupannya
tumbuh dan berkembang dalam tradisi pesantren.
Pesantren
sebagai bentuk lembaga pendidikan tertua di Indonesia dengan
segala subkultur dan kekhasannya, telah membentuk
pribadi
dan karakter Kiai Sahal. Meskipun oleh sebagian kalangan
pesantren sering dikritik sebagai identik dengan kekolotan, keterbelakangan,
tradisionalisme, jumud, dan seterusnya, ternyata dari sana muncul
kader-kader bangsa dengan integritas moral yang tinggi, memiliki basis tradisi
yang bail;, dan mampu beradaptasi dengan modernitas. Pesantren dengan
segala kelebihan dan kekurangannya ternyata mempunyai kontribusi yang
tidak sedikit dalam mewariskan nilai-nilai dan kearifan hidup. Bahkan, kekayaan
tradisi keilmuan pesantren yang ditransformasikan secara benar, dipandang
sementara kalangan sebagai modal untuk menghadapi dinamika hidup
dan modernitas.
Membaca
riwayat hidupnya, kita akan segera dapat menyimpulkan bahwa seluruh
kehidupan dan aktifitas Kiai Sahal selalu terkait dengan dunia pesantren. pengembangan ilmu fikih tidak pernah diragukan. Dia bukan
saja seorang ulama yang senantiasa ditunggu fatwanya, seorang kiai yang
dikelilingi ribuan santri, seorang pemikir yang menulis ratusan
risalah (makalah) berbahasa Arab dan
Indonesia,
tapi juga aktivis LSM yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap problem
masyarakat kecil di sekelilingnya. Kiai Sahal bukan tipe seorang kiai yang
terus berada di "singgasana" dan acuh dengan perkembangan sosial ekonomi
masyarakat. Rintisan pengembangan ekonomi masyarakat (petani) di sekitar
pesantrennya, bukan saja telah menyatukan pesantren dan masyarakat, tapi
juga menunjukkan kepedulian yang tinggi dalam
Bidang ekonomi rakyat.
Kredibilitas
keulamaan dan integritas pribadinya diakui hampirseluruh masyarakat,
tidak saja di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) terbukti dengan terpilihnya
beliau sebagai Rais 'Am NU pada 1999, tapi juga di tingkat nasional terbukti
dengan terpilihnya Kiai Sahal Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)
pada 2000. Independensi dan keteguhan sikap dalam mempertahankan prinsip
juga sisi lain dari kehidupan Kiai Sahal. Sikapnya yang moderat dalam menyikapi
berbagai problem sosial menunjukkan pribadi yang menjunjung tinggi
KH.A.Sahal Mahfudz
www.tris.co.nr
2
sikap tawasuth (Moderat), tawazun
(seimbang), tasamuh (egaliter) dan 1411),
tapi juga menunjukkan kearifan
pribadinya.
Dia
lahir di desa Kajen, Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937, putra KH. Mahfud
Salam dan memiliki jalur nasab dengan KH. Ahmad Mutamakin. Ia memulai
pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (19431949), Tsanawiyah (1950- 1953)
Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati.. Setelah beberapa tahun belajar
di lingkungannya sendiri, Sahal muda nyantri ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri,
Jawa Tour di bawah asuhan Kiai Muhajir. Selanjutnya tahun 1957-x.960 d belajar
di pesantren Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair.,Pada pertengahan
tahun 1960-an, Sahal belajar ke Mekah di bawah bimbingan langsung
Syaikh Yasin al-Fadani. Sementara itu, pendidikan umumnya hanya diperoleh
dari kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953).
Hampir
seluruh hidup Kiai Sahal berkaitan dengan pesantren. Pada 1958-1961 Kiai
Sahal sudah menjadi guru di Pesantren Sarang, Rembang;1966-1970, dia menjadi
dosen pada kuliah takhassus fikih di Kajen; pada 1974-1976 dia menjadi dosen
di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati;1982-1985 menjadi dosen di Fak. Syariah
LAIN Walisongo Semarang; sejak 1989 hingga sekarang menjadi Rektor Institut
Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara. Tahun 1988-1990 dia menjadi kolomnis
tetap di majalah AULA, sedangkan mulai 1991 menjadi kolomnis tetap di
Harian Suara Merdeka (Jateng). Meski dia memiliki kesibukan sebagai
Rais'Am
NU dan Ketua Umum MUI serta sebagai Rektor UNISNU, dia tetap menjadi
pengasuh pesantren Maslakul Huda di Kajen, Pati. Kiai Sahal aktif di organisasi
massa keagamaan, pertama-tama di NU sebagai Katib Syuriah Partai NU
Cabang Pati pada 1967-1975, sampai kemudian dia menduduki jabatan tertinggi
dalam organisasi ini, yakni sebagai Rais Am Syuriah PB NU untuk periode
1999-2004. Dalam waktu yang hampir bersamaan dia terpilih menjadi Ketua
Umum MUI Pusat untuk periode 2000-2005. Dalam posisinya sebagai Ketua
Umum MUI ini dia secara ex officio menjadi Ketua Dewan Syari'ah Nasional
(DSN), sebuah lembaga yang berfungsi memberikan fatwa, kontrol dan rekomendasi
tentang produk-produk lembaga keuangan syariah dan lembaga bisnis
syari'ah.
Kiai
Sahal termasuk salah satu dari sedikit kiai yang rajin menulis, sebuah tradisi yang
langka terutama di lingkungan kiai NU. Ratusan risalah (makalah) telah ditulis,
baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Belakangan sebagian
karya-karya tersebut dikumpulkan dalam buku berjudul Nuansa Fikih Sosial
(Yogyakarta: LKiS, 1994); Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur,
1999); Telaah Fikih Sosial, (Semarang: Suara Merdeka, 1997).
Pengembangan Ilmu Fikih
Pemikiran KHM A Sahal Machfudz yang
tertuang dalam berbagai tulisannya
menunjukkan bahwa dia mempunyai
perhatian luas dalam berbagai isu, mulai
KH.A.Sahal Mahfudz
www.tris.co.nr
3
dari
pengembangan pesantren, kesadaran pluralisme, ukhuwaah Islamiyyah, penanganan
zakat, dinamika dalam NU, manajemen dakwah, sampai pada masalah
pengentasan kemiskinan. Di luar itu semua, kontribusi pemikiran yang paling
menonjol dari Kiai Sahal adalah tentang fikih sosial-kontekstual. Concern utamanya
adalah bagaimana fikih tetap mempunyai keterkaitan dinamis dengan kondisi
sosial yang terus berubah. Dalam kaitan ini, Kiai Sahal berupaya menggali
fikih sosial dari pergulatan nyata antara "kebenaran agama" dan realitas
sosial yang senantiasa timpang. Menurutnya, fikih selalu menjumpai konteks
dan realitas yang bersifat dinamis.
Sumber : nu.or.id
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
"Karena
produk ijtihad maka keputusan fiqih bukan barang sakral yang tidalk boleh
diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang. Pemahaman yang mengsyakralkan fiqih jelas keliru." (KH.Sahal
Mahfud)
Segala puji hanya untuk Allah Tuhan
semesta alam. Rahmat dan salam semoga tetap tercucur-curahkan atas
Baginda Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. 'Catatan Ringan' ini
barangkali lebih tepatnya jika dikatakan hanya sekedar ringkasan dari
"Catatan Pendek" KH. Sahal Mahfudz dalam pengantarnya terhadap buku
"Kritik Nalar Fiqih NU" yang diterbitkan oleh Lakpesdam (Lembaga
Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia) NU. Penulis tertarik untuk
meringkasnya—katakanlah seperti itu--menjadi 'catatan ringan' karena disamping
beliau adalah termasuk salah satu ulama sepuh yang diakui kealimanya dan juga
banyak diikuti, oleh warga NU khususnya—terbukti tiga kali periode
berturut-turut beliau dipercaya memegang tampuk Rais Aam PBNU—juga kerana apa
yang beliau katakan dalam pengantarnya ini sangat menarik dan berguna sekali
untuk sekedar menyadarkan bahwa, "rumusan Fiqih yang dikonstruksikan
ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang
terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaanya sudah berbeda."
Karena itu, umat Islam dituntut untuk berani mengambil langkah progresif,
dinamis dan menghindari taklid buta dan perilaku sakralitas yang berlebihan
terhadap rumusan Fikih ulama terdahulu agar tidak semakin terjebak ke dalam
ruang stagnasi Fiqih dan kebekuan dalam berfikir yang lebih dalam. Kesadaran
bahwa, Fiqih akan selalu berubah disebabkan berubahnya situasi-kondisi pun
menjadi keniscayaan.
Sekilas
Tentang Beliau
Nama lengkap beliau adalah KH.
Muhammad Achmad Sahal Mahfudz. Beliau di lahirkan di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah,
pada 17 Desember
1937; umur 74 tahun. Pengasuh
Pondok Pesantren Maslakul Huda, Pati ini pernah menjabat sebagai Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia (MUI) periode 2000-2005 dan 2005-2010.
Kemudian, dalam Muktamar NU di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi
Selatan, Sabtu(27/3), beliau untuk ketiga kalinya kembali dipercaya menjadi
Rais Am PBNU masa bakti 2010-2015. Disamping beliau adalah ulama sepuh yang
alim beliau juga ulama yang bersahaja dan tawadhu' alias rendah hati dengan
kealimanya itu. Kiai
yang memiliki isteri Dra. Hj. Nafisah
Sahal ini pernah menimba ilmu agama di Mekah dibawah bimbingan langsung Syekh
Yasin Al Fadani. Beliau adalah termasuk ulama yang—menurut penulis--tergolong
produktif. Banyak karya tulis beliau yang sampai saat ini masih terus
ditelurkan. Karya-karyanya diantaranya adalah:
1. Thariqat al Hushul ila Ghayah al Ushul (Surabaya: Diantama, 2000). 2. Al Bayan al Mulamma an Alfaz al Luma (Semarang: Thoha Putra, 1999). 3. Telaah Fiqh Sosial, Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh (Semarang: Suara Merdeka, 1997). 4. Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LkiS, 1994). 5. Pesantren Mencari Makna, Nuansa Fiqih Sosial 1990;. 6. Ensiklopedi Ijma (terjemah bersama KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausuâ'ah al Hajainiyah, 1960 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987). 7. Ensiklopedi Ijma’ (1985);. 8. Faidhu Al Hijai (1962),. 9. Al Tsamarah al Hajainiyah, 1960 (Nurussalam).10. Intifakhu Al Wadajaini Fie Munadohorot Ulamai Al Hajain (1959); 11. Luma al Hikmah ila Musalsalat al Muhimmat (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati).12. Kitab Usul Fiqih (berbahasa Arab);.13. Penulis kolom Dialog dengan Kiai Sahal di harian Duta Masyarakat. 14. Al Faraid al Ajibah (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati).¹
"Catatan
Pendek" KH. Sahal Mahfud.
"Bagaimanapun rumusan fiqih
yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab
semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan
kebudayaanya sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar sesuai ruang dan
waktu. Jika hanya melulu berlandaskan pada rumusan teks, bagaimana jika ada
masalah hukum yang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fiqih? Apakah harus
mauquf (tak terjawab)?. Padahal memauqufkan hukum, hukumnya tidak boleh bagi
ulama (fuqaha). Di sinilah perlunya "fikih baru" yang mengakomodir
permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu kita
harus kembali ke manhaj, yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan
ushul fiqih serta qawa'id (kaidah-kaidah fiqih). Pemikiran tentang perlunya
"fiqih baru" ini sebetulnya sudah lama terjadi. Kira-kira sejak
1980-an ketika mulai muncul dan marak diskusi tentang "tajdid"
karena adanya keterbatasan kitab-kitab fiqih klasik dalam menjawab persoalan
kontemporer disamping muncul ide kontekstualisasi kitab kuning. (Kritik Nalar Fiqih NU, hal. XIV-XV)
Lebih lanjut beliau mengatakan, "Rumusan
"fiqih baru" ini kemudian dibahas secara intensif pada Muktamar ke-28
di Krapyak, Yogyakarta yang kemudian dikukuhkan dalam Munas Alim Ulama di
Lampung,1992. Di dalam hasil Munas tersebut di antaranya disebutkan perlunya
bermazhab secara manhajiy (metodologis) serta merekomendasikan para Kiai NU yang
sudah mempunyai kemampuan intelektual cukup untuk beristinbath langsung dari
teks dasar. Jika tidak mampu maka diadakan ijtihad jama'I (ijtihad kolektif).
Bentuknya bisa istinbath (menggali dari teks asal/dasar) maupun ilhâq (qiyas).
Pengertian istinbath al Ahkam di kalangan NU bukan mengambil hukum secara
langsung dari aslinya, yaitu al-Qur'an dan Sunnah akan tetapi—sesuai dengan
sikap dasar bermazhab—mentadbiqkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash
fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya." (Kritik
Nalar Fiqih NU, hal. XV-XVI).
Apa yang dikatakan oleh KH. Sahal
Mahfud diatas patut kita apresiasi yang sebesar-besarnya. Melalui tulisanya ini
beliau hendak menyadarkan kita bahwa, ternya masih ada persoalan-persoalan baru
yang hukumnya belum dibahas oleh ulama terdahulu. Hal demikai sangatlah logis
dan terbukti secara akademis karena bagaimanapun roda kehidupan manusia
senantiasa berdinamika sehingga menjadi keniscayaan munculnya problematika baru
di kancah kehidupan manusia yang belum pernah ada pada masa klasik. Katakanlah
semisal hukum handpone (HP) yang di dalamnya terdapat mushhaf al-Qur'an. Masih
terekam dalam ingatan ketika dalam suatu forum bahstul masail yang
penulis ikuti yang kebetulan permasalahan HP yang ada Qur'an-nya ini menjadi
deskripsi masalahanya. Ketika itu para peserta tidak ada yang sanggup
menyodorkan ibarât (dalil) yang sharîh (jelas) dari kitab-kitab
klasik yang akhirnya berujung dimauqufkanya (diberhentikan pembahasanya)
permasalahan tersebut. Ini logis karena pada masa klasik HP memang belum lahir
kedunia.
Oleh karena itu menurut beliau,
disamping kita bermazhab secara qauliy (hukum), kita juga harus
bermazhab secara manhajiy (metodologis). Dengan cara bermazhab secara manhajiy
inilah yang memungkinkan fiqih akan bersinar kembali. Sependek pengamatan
penulis, selama ini fiqih lebih berkutat dalam ruang sempit. Sedang untuk
peranya keranah publik agaknya telah mengalami kemandegan yang cukup
signifikan. Padahal seharusnya fiqih bisa mengatur kehidupan manusia dalam
setiap lininya, karena, pada prinsipnya fiqih adalah bersumber dari al-Qur'an
dan al-Sunnah yang notabene diturunkan untuk semua umat manusia (bukan hanya
umat Islam) untuk mengatur seluruh aspek berkehidupan. Namun ironi, agaknya
anjuran KH. Sahal Mahfud agar umat Islam—NU khususnya—bermazhab secara manhajiy
kurang mendapatkan respon antusias. Ini dibuktikan dengan masih minimnya
perhatian terhadap kajian ushul fiqih yang merupakan mesin pemproduksi
hukum-hukum fikih. Ntah karena apa, agaknya mereka lebih perhatian terhadap
fiqih daripada ushulnya. Demi furû' (fiqih) mereka telah mengorbankan ushul
(ushul fiqih). Jarang kita jumpai forum bahstul masail yang berorientasi manhajiy,
yang sering kita jumpai adalah bahsul masail qauliy. Memang
benar, meteri ushul fiqih telah diajarkan di dunia pesantren, namun agaknya,
perhatian yang diberikan cenderung kurang sebanding dengan tugas yang harus
diemban ushul fiqih tersebut.
Lebih jauh beliua mengatakan
ketika—katakanlah secara mudahnya—meng-interpretasikan perkataan KH. Wahab
Hasbullah, "Pekih itu klo rupek ya diokeh-okehkan". Kata KH.
Sahal, "Pernyataan ini memnag kelakar tapi mengandung nilai filosofis
yang tinggi. Maksudnya, fiqih itu merupakan prodok ijtihadiy. Karena produk
ijtihad maka keputusan fiqih bukan barang sakral yang tidalk boleh diubah
meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang. Pemahaman yang
mengsyakralkan fiqih jelas keliru. Dimana-mana yang namanya fiqih adalah
"al-Ilmu bi al-ahkâm al-syar'iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatihâ
al-tafshiliyyah". Definisi fiqih sebagai al-muktasab (yang digali)
menunjukan pada sebuah pemahaman bahwa fiqih lahir melalui serangkaian proses
penalaran dan kerja intelektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan
sebagai hukum praktis…. Semua itu menunjukan bahwa fiqih "produk
ijtihadiy". Sebagai produk ijtihad, maka sudah sewajarnya fiqih terus
berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio-budaya
serta pola pikir yang melatar belakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin
mengalami perubahan. Para peletak dasar fiqih, yakni imam mazhab (mujtahidîn)
dalam melakukan formasi hukum Islam meskipun digali langsung dari teks asal
(al-Qur'an dan Hadits) namun selalu tidak lepas dari pertimbangan "konteks
likungan keduanya baik asbab al-nuzûl maupun asbab al-wurûd. Namun konteks
lingkungan ini kurang berkembang dikalangan NU. (Kritik Nalar NU, hal.
XX).
Penulis ingin menggaris bawahi
pernyataan beliau "Karena produk ijtihad maka keputusan fiqih bukan
barang sakral yang tidalk boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah
melaju kencang. Pemahaman yang mengsyakralkan fiqih jelas keliru".
Karena menurut hemat penulis, disamping perilaku mensyakralkan fiqih bisa
melahirkan taklid buta dan juga fanatisme bermazhab yang akan mengurangi
kepekaan terhadap perkembangan zaman, perilaku tersebut juga menjadi salah satu
penyebab keengganan mereka untuk lebih memperhatikan ushulnya. Padahal ushul
(pokok)—menurut penulis—lebih penting dari furû'-nya (cabang). Ketika
mereka telah meyakini bahwa rumusan fiqih ulama klasik yang tertuang dalam Kutub
al-Mu'tabarah adalah kebenaran mutlak dan telah lengkap menyentuh keseluruh
kehidupan dan zaman maka bisa dipastikan mereka akan mengesampingkan ushul
fiqih atau minimal kurang perhatianya mereka terhadap usul fiqih tersebut yang
pada giliranya ushul fiqih akan mengalami kemandegan yang signifikan. Dan jika
ushul fiqh telah mengalami kemandekan maka bisa dipastikan fiqih tidak akan
pernah mengalami perkembangan dan tidak akan pernah ditemukan "fiqih
baru" yang senafas dengan zaman. Sedang di satu sisi tinggal menunggu
keusangan dan kebekuan fiqih yang diproduksi jauh sebelumnya. Ushul fiqih
adalah pabrit atau mesin pemproduksi hukum-hukum fiqih. Maka, jika pabrit itu
telah mandek tidak beroprasi maka dipastikan disana tidak akan pernah terjadi
produksi lagi.
Itu hanya sekelumit saja dari
problematika fiqih dan ushul fiqih. Yang seharusnya fiqih klop dan konpatible
dengan ushulnya namun agaknya keduanya justru saling berpunggungan. Ibarat
ushul menghendaki kearah kanan, maka fiqih pada saat ini justru ke arah
kiri—waluapun tidak semuanya. Penyempitan, pereduksian dan pengkotakan kriteria
kitab mu'tabar kedalam kitab-kitab klasik dan kitab-kitab mazhab
empat-pun semakin menambah ketimpangan ini—bahkan yang lebih parah lagi
jika kriteria mu'tabar disempitkan lagi menjadi kitab-kitab syafi'iyyah
semata. Menurut KH. Sahal, kriteria semacam itu tidak senafas dengan
semangat dengan fiqih sebagai produk ijtihad. Katanya, "Dalam konteks
ini pula maka criteria mu'tabar yang sudah direduksi menjadi hanya melulu
kitab-kitab mazhab empat sebetulnya tidak senafas dengan semangat fiqih sebagai
produk ijtihad. Mengapa demikian? Sebab kriteria mu'tabar dan ghairu mu'tabar
berarti di situ ada pandangan yang mengunggulkan pendapat imam tertentu dan
merendahkan pendapat imam lain. Ini sudah menyalahi kaidah "al-ijtihâd yâ
yunqadhu bi al-ijtihâd" diatas….Alasan saya, disamping untuk
menghindari fanatisme bermazhab juga kitab-kitab yang ditolak itu tidak
semuanya bertentangan dengan sunni. Hanya mungkin pada bagian tertentu saja
yang kebetulan berbeda. Hanya gara-gara dalam bab tawasul kitab ini
mengecamnya, mengkritik para wali, lantas semua kitab tulisan mereka tidak
boleh dipakai. Prinsipnya mana yang "reasonable" dan
"applicable" bisa digunakan. (Kritik Nalar Fiqih NU, hal.
XX-XXI)
Untuk mengakhiri catatan ringan ini
saya ingin menampilkan pernyataan beliau tentang muara fiqh. Ketika kita telah
sadar akan perlunya "fiqih baru" maka kita harus mengetahui bahwa,
"fikih baru" tersebut harus senafas dengan keadilan. Namun,
kompleksitas kehidupan manusia menjadi kendala tersendiri ketika hendak
mendefinisikan dan mengkatagorikan seperti apakah keadilan tersebut. Maka
menjadi sangat penting kirang usaha untuk menggali arti keadilan yang seirama
dengan zaman. Beliau mengatakan: "Lebih jauh, harus ditegaskan bahwa,
muara fiqih adalah terciptanya keadilan sosial di masyarakat. Sehingga Ali bin
Abi Thalib pernah berkata :”Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan
keadilan meskipun ma’a al-kufri, dan negara itu akan hancur dengan kezaliman
meskipun ma’a al-muslimin”. Ibnu Taimiyah juga pernah berkata: “Allah
akan menegakkan negara yang adil meskipun (negara) kafir dan Allah akan
menghancurkan negara yang zalim, meskipun (negara) Muslim”. dalam kerangka
berfikir ini, seandainya ada produk fiqh yang tidak bermuara pada terciptanya
sebuah keadilan di masyarakat, maka harus ditinggalkan…Maka kalau ada
fiqih-fiqih klasik yang tidak relevan atau tidak bermuara pada keadilan maka
harus dibuat fiqih baru”. ( Kritik Nalar Fiqh NU, hlm. XXII).
Sekian dari saya. Penulis mohon maaf
atas segala kekurangan dan kesalahan dalam catatan ringan ini. Dan semoga apa
yang telah KH. Sahal Mahfud sampaikan yang kemudian penulis tuangkan kedalam
catatan ringan ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Terimakasih atas
perhatinaya. Wallahu a'lam bishshawâb..
Kairo, 18 April 2011
DR. KH. MA. Sahal Mahfudz
Nama lengkap KH. MA. Sahal Mahfudz
(selanjutnya disebut dengan Kyai Sahal) adalah Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz
bin Abd. Salam Al-Hajaini lahir di Desa Kajen, Margoyoso Pati pada tanggal 17
Desember 1937.
Beliau adalah anak ketiga dari enam
bersaudara yang merupakan ulama kontemporer Indonesia yang disegani karena
kehati-hatiannya dalam bersikap dan kedalaman ilmunya dalam memberikan fatwa
terhadap masyarakat baik dalam ruang lingkup lokal (masyarakat dan pesantren
yang dipimpinnya) dan ruang lingkup nasional.
Sebelum orang mengenal Kyai Sahal,
orang akan mengenalnya sebagai sosok yang biasa-biasa saja. Dengan penampilan
yang sederhana orang mengira, beliau sebagai orang biasa yang tidak punya
pengetahuan apapun. Namun ternyata pengetahuan dan kepakaran Kyai Sahal sudah
diakui. Salah satu contoh, sosok yang menjadi pengasuh pesantren2 ini pernah
bergabung dengan institusi yang bergerak dalam bidang pendidikan, yaitu menjadi
anggota BPPN3 selama 2 periode yaitu dari tahun 1993-2003.
Kyai Sahal lahir dari pasangan Kyai
Mahfudz bin Abd. Salam al- Hafidz (w 1944 M) dan Hj. Badi’ah (w. 1945 M) yang
sedari lahir hidup di pesantren, dibesarkan dalam lingkungan pesantren, belajar
hingga ladang pengabdiannya pun ada di pesantren. Saudara Kyai Sahal yang
berjumlah lima orang yaitu, M. Hasyim, Hj. Muzayyanah (istri KH. Mansyur
Pengasuh PP An-Nur Lasem), Salamah (istri KH. Mawardi, pengasuh PP
Bugel-Jepara, kakak istri KH. Abdullah Salam ), Hj. Fadhilah (istri KH. Rodhi
Sholeh Jakarta), Hj. Khodijah (istri KH. Maddah, pengasuh PP Assuniyah Jember
yang juga cucu KH. Nawawi, adik kandung KH. Abdussalam, kakek KH. Sahal.).
Pada tahun 1968/69 Kyai Sahal
menikah dengan Dra Hj Nafisah binti KH. Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pesantren
Fathimiyah Tambak Beras Jombang dan berputra Abdul Ghofar Rozin yang sejak
sekarang sudah dipersiapkan untuk menggantikan kepemimpinan Kyai Sahal.
A. Latar Belakang Kehidupan
KH. Sahal Mahfudz dididik oleh
ayahnya yaitu KH. Mahfudz dan memiliki jalur nasab dengan Syekh Ahmad
Mutamakkin, namun KH. Sahal Mahfudz sangat dipengaruhi oleh kekyainan pamannya
sendiri, K.H. Abdullah Salam. Syekh Ahmad Mutamakkin sendiri termasuk salah
seorang pejuang Islam yang gigih, seorang ahli hukum Islam (faqih) yang
disegani, seorang guru besar agama dan lebih dari itu oleh pengikutnya dianggap
sebagai salah seorang waliyullah.
Sedari kecil Kyai Sahal dididik dan
dibesarkan dalam semangat memelihara derajat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan
tradisional. Apalagi Kiai Mahfudh Salam (yang juga bapaknya sendiri) seorang
kiai ampuh, dan adik sepupu almarhum Rais Aam NU, Kiai Bisri Syamsuri. Selain itu
juga terkenal sebagai hafidzul qur’an yang wira’i dan zuhud dengan pengetahuan
agama yang mendalam terutama ilmu ushul.
Pesantren adalah tempat mencari ilmu
sekaligus tempat pengabdian Kyai Sahal. Dedikasinya kepada pesantren,
pengembangan masyarakat, dan pengembangan ilmu fiqh tidak pernah diragukan Pada
dirinya terdapat tradisi ketundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam
kitab-kitab fiqih dan keserasian total dengan akhlak ideal yang dituntut dari
ulama tradisional. Atau dalam istilah pesantren, ada semangat tafaqquh
(memperdalam pengetahuan hukum agama) dan semangat tawarru’ (bermoral luhur).
Ada dua faktor yang mempengaruhi
pemikiran Kyai Sahal yaitu, pertama adalah lingkungan keluarganya. Bapak beliau
yaitu Kyai Mahfudz adalah orang yang sangat peduli pada masyarakat. Setelah
Kyai Mahfudz meninggal, Kyai Sahal kemudian diasuh oleh KH. Abdullah Salam,
orang yang sangat concern pada kepentingan masyarakat juga. Beliau adalah orang
yang mendalami tasawuf juga orang yang berjiwa sosial tinggi. Dalam melakukan
sesuatu ada nilai transendental yang diajarkan tidak hanya dilihat dari segi
materi. Kyai Mahfudz orang yang cerdas, tegas dan peka terhadap persoalan
sosial dan KH. Abdullah Salam juga orang yang tegas, cerdas, wira’I, muru’ah,
dan murah hati. Di bawah asuhan dua orang yang luar biasa dan mempunyai
karakter kuat inilah Kyai Sahal dibesarkan.
Yang kedua dari segi intelektual,
Kyai Sahal sangat dipengaruhi oleh pemikiran Imam Ghazali. Dalam berbagai teori
Kyai Sahal banyak mengutip pemikiran Imam Ghazali.13 Selama belajar di
pesantren inilah Kyai Sahal berinteraksi dengan berbagai orang dari segala
lapisan masyarakat baik kalangan jelata maupun kalangan elit masyarakat yang
pada akhirnya mempengaruhi pemikiran beliau. Selepas dari pesantren beliau aktif
di berbagai organisasi kemasyarakatan. Perpaduan antara pengalaman di dunia
pesantren dan organisasi inilah yang diimplementasikan oleh Kyai Sahal dalam
berbagai pemikiran beliau.
Minat baca Kyai Sahal sangat tinggi
dan bacaannya cukup banyak terbukti beliau punya koleksi 1.800-an buku di
rumahnya. Meskipun Kyai Sahal orang pesantren bacaannya cukup beragam,
diantaranya tentang psikologi, bahkan novel detektif walaupun bacaan yang
menjadi favoritnya adalah buku tentang agama. Beliau membaca dalam artian
konteks kejadian. Tidak heran kalau Kiai Sahal—meminjam istilah Gus Dur—lalu
‘menjadi jago’ sejak usia muda. Belum lagi genap berusia 40 tahun, dirinya
telah menunjukkan kemampuan ampuh itu dalam forum-forum fiqih. Terbukti pada
berbagai sidang Bahtsu Al-Masail tiga bulanan yang diadakan Syuriah NU Jawa
Tengah, beliau sudah aktif di dalamnya.
Kyai Sahal adalah pemimpin Pesantren
Maslakul Huda Putra sejak tahun 1963. Pesantren di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa
Tengah, ini didirikan oleh ayahnya, KH Mahfudz Salam, tahun 1910. Sebagai
pemimpin pesantren, Kyai Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional
di kalangan NU yang mayoritas berasal dari kalangan akar rumput. Sikap
demokratisnya menonjol dan dia mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan
masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi dan
kesehatan.
B. Pendidikan dan Guru-guru KH Sahal
Untuk urusan pendidikan, yang paling
berperan dalam kehidupan Kyai Sahal adalah KH. Abdullah Salam yang mendidiknya
akan pentingnya ilmu dan tingginya cita-cita. KH. Abdullah Salam tidak pernah
mendikte seseorang. Kyai Sahal diberi kebebasan dalam menuntut ilmu dimanapun.
Tujuannya agar Kyai Sahal bertanggung jawab pada pilihannya. Apalagi dalam
menuntut ilmu Kyai Sahal menentukan adanya target, hal inilah yang menjadi
kunci kesuksesan beliau dalam belajar. Ketika belajar di Mathali’ul Falah Kyai
Sahal berkesempatan mendalami nahwu sharaf, di Pesantren Bendo memperdalam fiqh
dan tasawuf, sedangkan sewaktu di Pesantren Sarang mendalami balaghah dan ushul
fiqh.
Memulai pendidikannya di Madrasah
Ibtidaiyah (1943-1949), Madrasah Tsanawiyah (1950-1953) Perguruan Islam
Mathaliul Falah, Kajen, Pati. Setelah beberapa tahun belajar di lingkungannya
sendiri, Kyai Sahal muda nyantri ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur
di bawah asuhan Kiai Muhajir, Selanjutnya tahun 1957-1960 dia belajar di
pesantren Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair. Pada pertengahan
tahun 1960-an, Kyai Sahal belajar ke Mekah di bawah bimbingan langsung Syaikh
Yasin al-Fadani. Sementara itu, pendidikan umumnya hanya diperoleh dari kursus
ilmu umum di Kajen (1951-1953).
Di Bendo Kyai Sahal mendalami
keilmuan tasawuf dan fiqih termasuk kitab yang dikajinya adalah Ihya Ulumuddin,
Mahalli, Fathul Wahab, Fathul Mu’in, Bajuri, Taqrib, Sulamut Taufiq, Sullam
Safinah, Sullamul Munajat dan kitab-kitab kecil lainnya. Di samping itu juga
aktif mengadakan halaqah- halaqah kecil-kecilan dengan teman-teman senior.
Sedangkan di Pesantren Sarang Kyai Sahal mengaji pada Kyai Zubair19 tentang
ushul fiqih, qawa’id fiqh dan balaghah. Dan kepada Kyai Ahmad beliau mengaji
tentang Hikam. Kitab yang dipelajari waktu di Sarang antara lain, Jam’ul Jawami
dan Uqudul Juman, Tafsir Baidlowi tidak sampai khatam, Lubbabun Nuqul sampai
khatam, Manhaju Dzawin Nazhar karangan Syekh Mahfudz At-Tarmasi dan lain-lain.
C. Tugas dan Jabatan
Kyai Sahal bukan saja seorang ulama
yang senantiasa ditunggu fatwanya, atau seorang kiai yang dikelilingi ribuan
santri, melainkan juga seorang pemikir yang menulis ratusan risalah (makalah)
berbahasa Arab dan Indonesia, dan juga aktivis LSM yang mempunyai kepedulian
tinggi terhadap problem masyarakat kecil di sekelilingnya. Penghargaan yang
diterima beliau terkait dengan masyarakat kecil adalah penganugerahan gelar
Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam bidang pengembangan ilmu fiqh
serta pengembangan pesantren dan masyarakat pada 18 Juni 2003 di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Peran dalam organisasipun sangat
signifikan, terbukti beliau dua periode menjabat Rais Aam Syuriah Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (1999-2009) dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)
masa bakti 2000-2010. Pada Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII (28/7/2005) Rais
Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), itu terpilih kembali untuk
periode kedua menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti
2005-2010.
Pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU)
di Donohudan, Boyolali, Jateng., Minggu (28/11-2/12/2004), beliau pun dipilih
untuk periode kedua 2004-2009 menjadi Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (NU). Pada 26 November 1999, untuk pertama kalinya dia dipercaya menjadi
Rais Aam Syuriah PB NU, mengetuai lembaga yang menentukan arah dan
kebijaksanaan organisasi kemasyarakatan yang beranggotakan lebih 30-an juta
orang itu. KH Sahal yang sebelumnya selama 10 tahun memimpin Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, juga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan
Pimpinan MUI pada Juni 2000 sampai tahun 2005.
Selain jabatan-jabatan diatas,
jabatan lain yang sekarang masih diemban oleh beliau adalah sebagai Rektor
INISNU Jepara, Jawa Tengah (1989-sekarang) dan pengasuh Pengasuh Pondok
Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati (1963 - Sekarang).
Sedangkan pekerjaan yang pernah
beliau lakukan, adalah guru di Pesantren Sarang, Rembang (1958-1961), Dosen
kuliah takhassus fiqh di Kajen (1966-1970), Dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK,
Pati (1974-1976), Dosen di Fak. Syariah IAIN Walisongo Semarang (1982-1985),
Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara (1989-sekarang), Kolumnis
tetap di Majalah AULA (1988-1990), Kolumnis tetap di Harian Suara Merdeka,
Semarang (1991-sekarang), Rais 'Am Syuriyah PBNU (1999-2004), Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia (MUI, 2000-2005), Ketua Dewan Syari'ah Nasional (DSN,
2000-2005), dan sebagai Ketua Dewan Pengawas Syari'ah pada Asuransi Jiwa
Bersama Putra (2002-sekarang).
Sosok seperti Kyai Sahal ini kiranya
layak menjadi teladan bagi semua orang. Sebagai pengakuan atas ketokohannya,
beliau telah banyak mendapatkan penghargaan, diantaranya Tokoh Perdamaian Dunia
(1984), Manggala Kencana Kelas I (1985-1986), Bintang Maha Putra Utarna (2000)
dan Tokoh Pemersatu Bangsa (2002).
Sepak terjang KH. Sahal tidak hanya
lingkup dalam negeri saja. Pengalaman yang telah didapatkan dari luar negeri
adalah, dalam rangka studi komparatif pengembangan masyarakat ke Filipina tahun
1983 atas sponsor USAID, studi komparatif pengembangan masyarakat ke Korea
Selatan tahun 1983 atas sponsor USAID, mengunjungi pusat Islam di Jepang tahun
1983, studi komparatif pengembangan masyarakat ke Srilanka tahun 1984, studi
komparatif pengembangan masyarakat ke Malaysia tahun 1984, delegasi NU
berkunjung ke Arab Saudi atas sponsor Dar al-Ifta’ Riyadh tahun 1987, dialog ke
Kairo atas sponsor BKKBN Pusat tahun 1992, berkunjung ke Malaysia dan Thailand
untuk kepentingan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) tahun 1997.
D. Karya-karya KH. MA. Sahal Mahfudz
Kyai Sahal adalah seorang pakar
fiqih (hukum Islam), yang sejak menjadi santri seolah sudah terprogram untuk
menguasai spesifikasi ilmu tertentu yaitu dalam bidang ilmu Ushul Fiqih, Bahasa
Arab dan Ilmu Kemasyarakatan. Namun beliau juga mampu memberikan solusi
permasalahan umat yang tak hanya terkait dengan tiga bidang tersebut, contohnya
dalam bidang kesehatan dan beliau menemukan suatu bagian tersendiri dalam fiqh.
Dalam bidang kesehatan Kyai Sahal
mendapat penghargaan dari WHO dengan gagasannya mendirikan taman gizi yang
digerakkan para santri untuk menangani anak-anak balita (hampir seperti
Posyandu). Selain itu juga mendirikan balai kesehatan yang sekarang berkembang
menjadi Rumah Sakit Islam.
Berbicara tentang karya beliau, pada
bagian fiqh beliau menulis seperti Al-Tsamarah al-Hajainiyah yang membicarakan
masalah fuqaha, al-Barokatu al- Jumu’ah ini berbicara tentang gramatika Arab.
Sedangkan karya Kyai Sahal yang berbentuk tulisan lainnya adalah:
- Buku (kumpulan makalah yang diterbitkan):
- Thariqatal-Hushul ila Ghayahal-Ushul, (Surabaya: Diantarna, 2000)
- Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999)
- Al-Bayan al-Mulamma' 'an Alfdz al-Lumd", (Semarang: Thoha Putra, 1999)
- Telaah Fikih Sosial, Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh, (Semarang: Suara Merdeka, 1997)
- Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994)
- Ensiklopedi Ijma' (terjemahan bersama KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausu'ah al-Ij ma'). (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987).
- Al-Tsamarah al-Hajainiyah, I960 (Nurussalam, t.t)
- Luma' al-Hikmah ila Musalsalat al-Muhimmat, (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati).
- Al-Faraid al-Ajibah, 1959 (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati)
- Risalah dan Makalah (tidak diterbitkan):
- Tipologi Sumber Day a Manusia Jepara dalam Menghadapi AFTA 2003 (Workshop KKNINISNU Jepara, 29 Pebruari 2003).
- Strategi dan Pengembangan SDM bagi Institusi Non-Pemerintah, (Lokakarya Lakpesdam NU, Bogor, 18 April 2000).
- Mengubah Pemahaman atas Masyarakat: Meletakkan Paradigma Kebangsaan dalam Perspektif Sosial (Silarurahmi Pemda II Ulama dan Tokoh Masyarakat Purwodadi, 18 Maret 2000).
- Pokok-Pokok Pikiran tentang Militer dan Agama (Halaqah Nasional PB NU dan P3M, Malang, 18 April 2000)
- Prospek Sarjana Muslim Abad XXI, (Stadium General STAI al-Falah Assuniyah, Jember, 12 September 1998)
- Keluarga Maslahah dan Kehidupan Modern, (Seminar Sehari LKKNU, Evaluasi Kemitraan NU-BKKBN, Jakarta, 3 Juni 1998)
- Pendidikan Agama dan Pengaruhnya terhadap Penghayatan dan Pengamalan Budi Pekerti, (Sarasehan Peningkatan Moral Warga Negara Berdasarkan Pancasila BP7 Propinsi Jawa Tengah, 19 Juni 1997)
- Metode Pembinaan Aliran Sempalan dalam Islam, (Semarang, 11 Desember 1996)
- Perpustakaan dan Peningkatan SDM Menurut Visi Islam, (Seminar LP Ma'arif, Jepara, 14 Juli 1996)
- Arah Pengembangan Ekonomi dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Seminar Sehari, Jember, 27 Desember 1995)
- Pendidikan Pesantren sebagai Suatu Alternatif Pendidikan Nasional, (Seminar Nasional tentang Peranan Lembaga Pendidikan Islam dalam Peningkatan Kualitas SDM Pasca 50 tahun Indonesia Merdeka, Surabaya, 2 Juli 1995)
- Peningkatan Penyelenggaraan Ibadah Haji yang Berkualitas, (disampaikan dalam Diskusi Panel, Semarang, 27 Juni 1995)
- Pandangan Islam terhadap Wajib Belajar, (Penataran Sosialisasi Wajib belajar 9 Tahun, Semarang 10 Oktober 1994)
- Perspektif dan Prospek Madrasah Diniyah, (Surabaya, 16 Mei 1994)
- Fiqh Sosial sebagai Alternatif Pemahaman Beragama Masyarakat, (disampaikan dalam kuliah umum IKAHA, Jombang, 28 Desember 1994)
- Reorientasi Pemahaman Fiqh, Menyikapi Pergeseran Perilaku Masyarakat, (disampaikan pada Diskusi Dosen Institut Hasyim Asy'ari, Jombang, 27 Desember 1994)
- Sebuah Releksi tentang Pesantren, (Pati, 21 Agustus 1993)
- Posisi Umat Islam Indonesia dalam Era Demokratisasi dari Sudut Kajian Politis, (Forum Silaturahmi PP Jateng, Semarang, 5 September 1992).
- Kepemimpinan Politik yang Berkeadilan dalam Islam, (Halaqah Fiqh Imaniyah, Yogyakarta, 3-5 Nopember 1992)
- Peran Ulama dan Pesantren dalam Upaya Peningkatan Derajat Kesehatan Umat, (Sarasehan Opening RSU Sultan Agung, Semarang, 26 Agustus 1992).
- Pandangan Islam Terhadap AIDS, (Seminar, Surabaya,1 Desember 1992)
- Kata Pengantar dalam buku Quo Vadis NU karya Kacung Marijan, (Pati, 13 Pebruari 1992)
- Peranan Agama dalam Pembinaan Gizi dan Kesehatan Keluarga, Pandangan dari Segi Posisi Tokoh Agama, Muallim, dan Pranata Agama, (Muzakarah Nasional, Bogor, 2 Desember 1991)
- Mempersiapkan Generasi Muda Islam Potensial, (Siaran Mimbar Agama Islam TVRI, Jakarta, 24 Oktober 1991)
- Moral dan Etika dalam Pembangunan, (Seminar Kodam IV, Semarang, 18-19 September 1991)
- Pluralitas Gerakan Islam dan Tantangan Indonesia Masa Depan, Perpsketif Sosial Ekonomi, (Seminar di Yogyakarta, 10 Maret 1991)
- Islam dan Politik, (Seminar, Kendal, 4 Maret 1989)
- Filosofi dan Strategi Pengembangan Masyarakat di Lingkungan NU, (disampaikan dalam Temu Wicara LSM, Kudus, 10 September 1989)
- Disiplin dan Ketahanan Nasional, Sebuah Tinjauan dari Ajaran Islam, (Forum MUIII, Kendal, 8 Oktober 1988)
- Relevansi Ulumuddiyanah di Pesantren dan Tantangan Masyarakat, (Mudzakarah, P3M, Mranggen, 19-21 September 1988)
- Prospek Pesantren dalam Pengembangan Science, (Refreshing Course KPM, Tambak Beras, Jombang 19 Januari 1988)
- Ajaran Aswaja dan Kaitannya dengan Sistem Masyarakat, (LKL GP Anshor dan Fatayat, Jepara 12-17 Februari 1988)
- AIDS dan Prostisusi dari Dimensi Agama Islam, (Seminar AIDS dan Prostitusi YAASKI, Yogyakarta, 21 Juni 1987)
- Sumbangan Wawasan tentang Madrasah dan Ma'arif, (Raker LP Ma'arif, Pati, 21 Desember 1986)
- Program KB dan Ulama, (Pati, 27 Oktober 1986)
- Hismawati dan Taman Gizi, (Sarasehan gizi antar santriwati,
- Administrasi Pembukuan Keuangan Menurut Pandangan Islam, (Latihan Administrasi Pembukuan dan Keuangan bagi TPM, Pan, 8 April 1986)
- Pendekatan Pola Pesantren sebagai Salah Satu Alternatif membudayakan NKKBS, (Rapat Konsultasi Nasional Bidang, KB, Jakarta, 23-27 Januari 1984)
- Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan di Pesantren, (Lokakarya Pendidikan Kependudukan di Pesantren, (Jakarta, 6-8 Januari 1983)
- Tanggapan atas Pokok-Pokok Pikiran Pembaharuan Pendidikan Nasional, (27 Nopember 1979)
- Peningkatan Sosial Amaliah Islam, (Pekan Orientasi Ulama Khotib, Pati, 21-23 Pebruari 1977)
- Intifah al-Wajadain, (Risalah tidak diterbitkan)
- Wasmah al-Sibydn ild I'tiqdd ma' da al-Rahman, (Risalah tidak diterbitkan)
- I'dnah al-Ashhdb, 1961 (Risalah tidak diterbitkan)
- Faid al-Hija syarah Nail al-Raja dan Nazhdm Safinah al-Naja, 1961 (Risalah tidak diterbitkan)
- Al-Tarjamah al-Munbalijah 'an Qasiidah al-Munfarijah, (Risalah tidak diterbitkan)
KH
Sahal Mahfud: Pendidikan Tak Bisa Digeneralis
Jumat, 29 Januari 2010 07:53
Administrator
Pemerintah telah mengupayakan
penegerian madrasah-madrasah swasta. Tahun ini, ditargetkan ada 470 madrasah
swasta yang telah dinegerikan. Sekarang ini yang sudah terealisasi lebih dari
200 madrasah.
Namun untuk maju apakah madrasah
harus berstatus negeri? Bagaimana dampaknya bagi madrasah yang swasta yang
dinegerikan? Bagaimana dengan madrasah dan sekolah-sekolah swasta lainnya yang
berstatus negeri, apakah anggaran pemerintah hanya diprioritaskan untuk sekolah
negeri? Berikut wawancara NU Online dengan Rais Aam Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Sahal Mahfudh, di kantor PBNU Jakarta, Senin 26
Oktober 2009.
Menurut Kiai bagaimana dengan
penegerian madrasah ini? Apa yang perlu disikapi? Madrasah kan juga terkait
dengan aset NU.
Saya itu yang penting madrasah itu harus punya standar. Kalau tidak ya akan susah, akan diombang-ambingkan perkembangan zaman. Nah kalau sudah punya standar, dengan dinegerikan pemerintah, standar ini bisa dipertahankan tidak? Kalau tidak kenapa kita harus ikut pemerintah dengan menghilangkan perjuangan. Seperti saya katakan kalau nggak punya standar ya susah juga. Ya kita lihat aja nanti gimana.
Madrasah ini kan terkait dengan ases NU, kalau dinegerikan kita tidak punya wewenang
Anda bilang aset milik NU tapi kan kita ga punya bukti, hanya mengakui saja. Jadi masih tidak lepas dari para pendiri kan? Mereka itu masih banyak berpengaruh. Nah harapan saya, semua madrasah harus punya standar sebagai pegangan. Siapapun yang akan mengajak madrasah punya standar ga? Kalaul nggak no! Kalau masih bisa oke, sepanjang tidak merugikan
Yang menentukan standar NU atau ma’arif?
Tentu di situ kembalinya
Menurut pak kiai apa yang bisa dijadikan pokok standar bagi madrasah?
Wah itu tidak bisa digeneralis. Itu tergantung kebutuhan daerah, tidak bisa digeneralis. Salah itu nanti. Pendidikan tidak bisa digeneralis. Kalau digeneralis, jadinya itu nanti keseragaman. Orang itu punya pengetahuannya sendiri-sendiri, latar belakangnya sendiri-sendiri, kalalu standarnya harus sama ya ndak bener. Artinya apa? Dalam pendidikan itu jangan sampai yang bodoh dipaksa pinter yang pinter jangan maju. Yang pinter harus nurut kelas. Tidak bener itu. Yang yang otaknya hebat itu belum waktunya naik ya nunggu tahun ajaran berikutnya. Ini kan namanya di tekan. Tapi yang bodoh harus di tekan harus naik, harus naik! Ini yang menjadi angen-angen saya. Memang saya orangnya dari pesantren, kalau di pesantren kan tidak begitu.
Dalam penegerian itu biasanya malah yang menentukan standar pemerintah?
Ya. Pemerintah yang punya standar sendiri. Biasanya kan kita tidak perlu standar. Salah lagi, kalau penegerian itu ujungnya adalah uang. Itu sudah naudzu billahi min dzalik, jangan sampai terjadi. Saya sesalkan dan tidak sedikit itu yang motifnya penegrian adalah uang.
Biasanya madrasah yang ingin dinegerikan itu sudah turun ke generasi kedua-ketiga, dan biasanya motifnya misalnya kepala sekolah ingin menjadi PNS
Ya jadi pegawai negeri itu
Bagaimana NU merespon?
Ya, perlu merespon. Tapi NU harus menyadari bahwa itu hanya sebatas anjuran-anjuran karena pemilikan aset ini tidak dibuat oleh NU hanya ngakoni.
Selama ini dana pemerintah untuk pendidikan sebagian besar terserap oleh negeri, apa ada usulan lain dari PBNU misalnya dana pemerintah diperbesar untuk sekolah swasta?
Ya bener. Sebenarnya pemerintah harus lebih besar menganggarkan untuk sekolah swasta karena jumlahnya lebih besar untuk sekolah swasta dari pada yang negeri. Jasanya juga lebih banyak yang swasta dari pada yang negeri. Negeri terbatas kog. Yang masuk pun dibatasi, begini-begitu. Kalau swasta itu bukan hanya yang bodoh-bodoh, yang melarat itu ada di swasta.
Jadi yang dijalankan pemerintah sekarang terbalik?
Ya. Meskipun pemerintah tidak akan setuju dengan pendapat saya ini, tapi bagi saya ini prinsip.
Yang diharapkan juga bisa menyampaikan aspirasi ini siapa, apakah anggota partai Islam, atau siapa?
Waduh, sudahlah, mana sih sekarang ada partai yang idealis. Susah.
Untuk pemerintah yang sekarang apa bisa diharapkan lebih baik, misal Mendiknasnya kan sekarang orang NU. Barang kali Kiai juga punya kedekatan pribadi?
Ini adalah pertama kali NU menduduki Departemen Pendidikan, selama Republik ini berdiri. Dalam hal ini tentu yang paling penting bagaimana orientasi nasional. Jadi kalau sudah orientasi ke NU kan susah juga. Jadi karena dia menteri ya orientasi nasional. Biasanya orang NU itu kalau ada yang jadi malah dibebani, ingin menjadi ini, ingin menjadi pegawai negeri. Saya tidak senang anak-anak NU yang begitu-itu. Biarkanlah Pak Nuh ini mempunyai kesempatan mengembangkan pendidikan secara nasional, tapi nuansanya adalah nuansa islami. (*)
Saya itu yang penting madrasah itu harus punya standar. Kalau tidak ya akan susah, akan diombang-ambingkan perkembangan zaman. Nah kalau sudah punya standar, dengan dinegerikan pemerintah, standar ini bisa dipertahankan tidak? Kalau tidak kenapa kita harus ikut pemerintah dengan menghilangkan perjuangan. Seperti saya katakan kalau nggak punya standar ya susah juga. Ya kita lihat aja nanti gimana.
Madrasah ini kan terkait dengan ases NU, kalau dinegerikan kita tidak punya wewenang
Anda bilang aset milik NU tapi kan kita ga punya bukti, hanya mengakui saja. Jadi masih tidak lepas dari para pendiri kan? Mereka itu masih banyak berpengaruh. Nah harapan saya, semua madrasah harus punya standar sebagai pegangan. Siapapun yang akan mengajak madrasah punya standar ga? Kalaul nggak no! Kalau masih bisa oke, sepanjang tidak merugikan
Yang menentukan standar NU atau ma’arif?
Tentu di situ kembalinya
Menurut pak kiai apa yang bisa dijadikan pokok standar bagi madrasah?
Wah itu tidak bisa digeneralis. Itu tergantung kebutuhan daerah, tidak bisa digeneralis. Salah itu nanti. Pendidikan tidak bisa digeneralis. Kalau digeneralis, jadinya itu nanti keseragaman. Orang itu punya pengetahuannya sendiri-sendiri, latar belakangnya sendiri-sendiri, kalalu standarnya harus sama ya ndak bener. Artinya apa? Dalam pendidikan itu jangan sampai yang bodoh dipaksa pinter yang pinter jangan maju. Yang pinter harus nurut kelas. Tidak bener itu. Yang yang otaknya hebat itu belum waktunya naik ya nunggu tahun ajaran berikutnya. Ini kan namanya di tekan. Tapi yang bodoh harus di tekan harus naik, harus naik! Ini yang menjadi angen-angen saya. Memang saya orangnya dari pesantren, kalau di pesantren kan tidak begitu.
Dalam penegerian itu biasanya malah yang menentukan standar pemerintah?
Ya. Pemerintah yang punya standar sendiri. Biasanya kan kita tidak perlu standar. Salah lagi, kalau penegerian itu ujungnya adalah uang. Itu sudah naudzu billahi min dzalik, jangan sampai terjadi. Saya sesalkan dan tidak sedikit itu yang motifnya penegrian adalah uang.
Biasanya madrasah yang ingin dinegerikan itu sudah turun ke generasi kedua-ketiga, dan biasanya motifnya misalnya kepala sekolah ingin menjadi PNS
Ya jadi pegawai negeri itu
Bagaimana NU merespon?
Ya, perlu merespon. Tapi NU harus menyadari bahwa itu hanya sebatas anjuran-anjuran karena pemilikan aset ini tidak dibuat oleh NU hanya ngakoni.
Selama ini dana pemerintah untuk pendidikan sebagian besar terserap oleh negeri, apa ada usulan lain dari PBNU misalnya dana pemerintah diperbesar untuk sekolah swasta?
Ya bener. Sebenarnya pemerintah harus lebih besar menganggarkan untuk sekolah swasta karena jumlahnya lebih besar untuk sekolah swasta dari pada yang negeri. Jasanya juga lebih banyak yang swasta dari pada yang negeri. Negeri terbatas kog. Yang masuk pun dibatasi, begini-begitu. Kalau swasta itu bukan hanya yang bodoh-bodoh, yang melarat itu ada di swasta.
Jadi yang dijalankan pemerintah sekarang terbalik?
Ya. Meskipun pemerintah tidak akan setuju dengan pendapat saya ini, tapi bagi saya ini prinsip.
Yang diharapkan juga bisa menyampaikan aspirasi ini siapa, apakah anggota partai Islam, atau siapa?
Waduh, sudahlah, mana sih sekarang ada partai yang idealis. Susah.
Untuk pemerintah yang sekarang apa bisa diharapkan lebih baik, misal Mendiknasnya kan sekarang orang NU. Barang kali Kiai juga punya kedekatan pribadi?
Ini adalah pertama kali NU menduduki Departemen Pendidikan, selama Republik ini berdiri. Dalam hal ini tentu yang paling penting bagaimana orientasi nasional. Jadi kalau sudah orientasi ke NU kan susah juga. Jadi karena dia menteri ya orientasi nasional. Biasanya orang NU itu kalau ada yang jadi malah dibebani, ingin menjadi ini, ingin menjadi pegawai negeri. Saya tidak senang anak-anak NU yang begitu-itu. Biarkanlah Pak Nuh ini mempunyai kesempatan mengembangkan pendidikan secara nasional, tapi nuansanya adalah nuansa islami. (*)
Sujud
Bagaimana kau
hendak bersujud pasrah
sedang wajahmu yang bersih sumringah
keningmu yang mulia
dan indah begitu pongah
minta sajadah
agar tak menyentuh tanah.
sedang wajahmu yang bersih sumringah
keningmu yang mulia
dan indah begitu pongah
minta sajadah
agar tak menyentuh tanah.
Apakah kau
melihatnya
seperti iblis saat menolak menyembah bapakmu
dengan congkak,
tanah hanya patut diinjak,
tempat kencing dan berak
membuang ludah dan dahak
atau paling jauh hanya jadi lahan
pemanjaan nafsu
serakah dan tamak.
Apakah kau lupa
bahwa tanah adalah bapak
dari mana ibumu dilahirkan,
tanah adalah ibu yang menyusuimu
dan memberi makan
tanah adalah kawan yang memelukmu
dalam kesendirian
dalam perjalanan panjang
menuju keabadian.
seperti iblis saat menolak menyembah bapakmu
dengan congkak,
tanah hanya patut diinjak,
tempat kencing dan berak
membuang ludah dan dahak
atau paling jauh hanya jadi lahan
pemanjaan nafsu
serakah dan tamak.
Apakah kau lupa
bahwa tanah adalah bapak
dari mana ibumu dilahirkan,
tanah adalah ibu yang menyusuimu
dan memberi makan
tanah adalah kawan yang memelukmu
dalam kesendirian
dalam perjalanan panjang
menuju keabadian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar